close

Empat Guru Besar FK UI Bidang Ilmu Kesehatan Anak Dikukuhkan

Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, S. E., M. A., Ph.D. mengukuhkan empat Guru Besar (GB) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dalam Sidang Terbuka Pengukuhan Guru Besar yang dilaksanakan secara hybrid (daring dan luring) di kampus UI Depok dan Kampus Salemba, pada Sabtu siang (13/3).

Keempat profesor FK UI tersebut adalah Prof. Dr. dr. Pustika Amalia Wahidiyat, Sp.A(K) sebagai Guru Besar Tetap FK UI dengan kepakaran bidang ilmu kesehatan anak, Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K) sebagai Guru Besar Tetap bidang ilmu kesehatan anak, Prof. Dr. dr. Pramita Gayatri, Sp.A(K) sebagai Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Gastrohepatologi Anak, dan Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) sebagai Guru Besar bidang ilmu kesehatan anak.

Prof. Pustika menyampaikan pidato berjudul “Menjaga Kualitas Generasi Penerus Bangsa melalui Penanganan Talasemia Berbasis Bukti dengan Prinsip Kendali Mutu dan Biaya”. Ia menyatakan bahwa salah satu penyakit katastropik yang sering terlupakan di Indonesia adalah talasemia. Penyakit ini berada pada peringkat lima sebagai penyakit dengan beban biaya paling besar dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Indonesia. Talasemia masih belum banyak diketahui oleh masyarakat serta belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Langkah-langkah yang sudah dilakukan untuk mengatasi talasemia dari segi pencegahan dan pengobatan di Indonesia adalah terapi konservatif dan tata laksana pasien, mencakup dua komponen utama, yaitu transfusi darah rutin dan penggunaan kelasi besi untuk mencegah deposisi besi berlebih.

”Saya memberikan rekomendasi menginisiasi program skrining talasemia secara nasional, negara kita dapat melakukan penghematan yang signifikan. Dana ini kemudian dapat dialokasikan untuk mengembangkan salah satu opsi terapi kuratif talasemia, yaitu transplantasi sumsum tulang, yang diharapkan dapat menggantikan terapi transfusi darah yang sarat dengan problematikanya, antara lain komplikasi deposisi besi berlebih dan infeksi menular, misalnya hepatitis B, hepatitis C, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan infeksi lainnya,” kata Prof. Pustika.

Baca Juga :  Ditjen Diktiristek Tegaskan Komitmen dalam Mendorong Kolaborasi Internasional melalui HEPCON 2024

Selanjutnya, Prof. Rinawati menyampaikan pidato berjudul “Bayi Prematur Dan Bayi Berat Lahir Rendah Di Indonesia: Tantangan Bagi Pembentukan SDM Unggul di Indonesia”. Ia berpendapat bahwa tata laksana bayi prematur (termasuk pencegahannya) telah sangat berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir. Hal tersebut menyebabkan kemungkinan bayi yang lahir prematur, sangat prematur, bahkan amat sangat prematur dapat bertahan hidup bahkan berpotensi tumbuh kembang normal makin besar.

“Di Indonesia, saat ini kemajuan tersebut baru dapat dilaksanakan di beberapa rumah sakit besar, namun saya yakin cepat atau lambat akan dapat dilakukan di lebih banyak fasilitas layanan kesehatan di seluruh tanah air. Saya meyakini, bahwa setiap bayi prematur dengan batasan masa gestasi tertentu, bila ditata laksana dengan baik mempunyai potensi dapat tumbuh dan berkembang seperti layaknya bayi cukup bulan. Pemberian nutrisi yang tepat pada bayi prematur dapat secara signifikan mengurangi risiko terjadinya extrauterine growth restriction (EUGR), yang pada akhirnya dapat mengurangi stunting di masa mendatang. Kerja sama antara dokter dan orangtua pasien sangat diperlukan untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam tata laksana terhadap bayi prematur, terutama bayi amat prematur dan amat sangat prematur,” ujar Prof. Rinawati.

”Peran Endoskopi Dalam Perbaikan Kesehatan Saluran Cerna: Upaya Meningkatkan Kualitas Generasi Penerus Bangsa” merupakan judul pidato pengukuhan Prof. Pramita. Ia mengatakan bahwa tindakan endoskopi saluran cerna pada anak merupakan salah satu solusi yang membantu mendiagnosis dan/atau sekaligus melakukan tindakan terapeutik agar tata laksana penyakit ataupun kelainan saluran cerna dapat optimal. Tentunya tata laksana penyakit ataupun kelainan saluran cerna sangat erat kaitannya dengan pemberian nutrisi, baik nutrisi parenteral, enteral, maupun terjaganya diet makanan bergizi dan seimbang yang semuanya diselaraskan dengan tahapan usia dan status nutrisi saat awal diagnostik.

Baca Juga :  Berhadiah 1 Milyar, Ini Pemenang Kompetisi Liga Kampus Merdeka Antar Prodi di UTU

Prof. Aman Pulungan menyampaikan pidato berjudul ”Penuntasan Stunting pada Anak sebagai Suatu Permasalahan Multi-Faktorial: Medis, Sosial, Ekonomi, Politik, dan Emosional.” Dalam pemaparannya, ia menerangkan bahwa untuk mengatasi stunting dan meningkatkan kesehatan anak Indonesia perlu dilihat faktor sosial, ekonomi, politik, dan emosi. Pencegahan deteksi dini sangat penting dalam manajemen gangguan pertumbuhan seperti stunting, sehingga sistem yang sudah berjalan di Indonesia berpotensi untuk ditingkatkan, misalnya dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) dan pemanfaatan Posyandu.

Deteksi dini stunting perlu memperhatikan kurva pertumbuhan yang tepat sehingga intervensi, termasuk kebijakan pemerintah harus serentak di segala sektor, termasuk pendidikan dan tidak dapat difokuskan pada satu sektor saja, misalnya faktor nutrisi.

Pada sidang terbuka tersebut hadir Ketua Dewan Guru Besar (DGB) UI Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, PhD, beserta sekretaris dan anggota guru besar UI lainnya, Ketua Senat Akademik (SA) Prof. Nachrowi Djalal Nachrowi, MSc., MPHil., Ph.D, dan sekretaris, Sekretaris Universitas, para Wakil Rektor, dan pimpinan fakultas/unit lainnya, perwakilan guru besar tamu dari perguruan tinggi negeri dan swasta serta para tamu undangan.