close

Kepala LPPM IPB University Beberkan Konstitusi dan Sistem Tata Kelola Sumberdaya Alam di Indonesia

Dr Ernan Rustiadi, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University turut memberikan komentar terkait tata kelola sumberdaya alam di Indonesia. Ia mengatakan, terjadi ketidakkonsistenan berbagai undang-undang terkait penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya alam.

“Selain itu, ada fenomena sektoralisme pengelolaan sumberdaya alam, tidak atau kurangnya sinkronisasi horizontal antar undang-undang terkait dan inkonsistensi nomenklatur,” ujarnya.

Dr Ernan mengaku, dirinya telah melakukan kajian terkait konstitusi sumberdaya alam sejak tahun 2009. Kajian tersebut ia lakukan bersama Prof Maria SW Sumardjono, Prof Nurhasan Ismail dan Ir Abdullah Aman Damai. Saat itu dirinya masuk dalam Tim Environmental Sector Program (ESP) 2 Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan DANIDA (November 2008-Februari 2009) yang mendapat kepercayaan untuk melakukan kajian kritis terkait pasal 33 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang ini turut menjadi entry point untuk menelaah ketaatasasan secara horizontal berbagai aturan perundang-undangan terkait sumber daya alam.

Baca Juga :  Naik Peringkat, ITS Empat Terbaik Nasional dan 40 Terbaik Dunia dalam UI Greenmetric Rankings 2021

“Ultimate goal pengelolaan sumberdaya alam adalah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Dr Ernan dalam telaah terhadap UUD 1945 Pasal 33 ayat 4 yang diselenggarakan oleh Indonesia for Global Justice, 15/4.

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 31 (1) UUD 1945, kesejahteraan rakyat diwujudkan dengan menjadikan kehidupan rakyat yang layak sebagai manusia dan kehidupan berbangsa yang memiliki rasa aman, nilai-nilai budaya, tatanan sosial, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang mana merefleksikan konsep tujuan yang hendak diraih oleh negara kesejahteraan.

Pakar tata ruang IPB University itu juga menyebut, ada 12 potensi risiko dalam implementasi Undang-undang Cipta Kerja (UUCK).

Potensi risiko tersebut adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang bias kota, resentralisasi kewenangan tata ruang, ancaman degradasi keanekaragaman hayati dan kontaminasi pangan, ancaman kedaulatan pangan berbasis impor, sentralisasi perizinan berusaha, pengarusutamaan investasi daripada kelestarian lingkungan, ketidakjelasan definisi subjek dan objek agromaritim, kerentanan sumber nafkah agraria, dilema reforma agraria dengan proyek strategis nasional, peningkatan eskalasi konflik dan ketimpangan agraria, liberalisasi pemanfaatan sumberdaya (nasionalisme) dan dampak lanjutan dari pelemahan sanksi.

Baca Juga :  Seleksi Wilayah KRI 2022 Berakhir, ITS Juarai Empat Kategori

Seluruh risiko ini didapatkan berdasarkan analisis isi kebijakan dan tinjauan potensi risiko serta dampak UUCK yang dilakukan oleh IPB University.

Berdasarkan tinjauan tersebut, IPB University turut memberikan rekomendasi kebijakan. Sedikitnya ada tujuh rekomendasi kebijakan yang diberikan terkait implementasi UUCK. Rekomendasi tersebut adalah menciptakan investasi yang berkeadilan dan berkelanjutan; pembagian beban pemerintah melalui kewenangan pusat-daerah yang proporsional; penguatan integritas lembaga pelaksana, penguatan ekonomi berbasis perdesaan, kerakyatan dan komunitas; penyempurnaan kebijakan tata ruang dan agraria yang berimbang dan berkeadilan; penguatan daya saing produk lokal agar bisa berkompetisi di pasar global dan pengendalian impor serta sistem informasi untuk mendukung integrasi dan sharing data. (RA)